1. Kasus Sum Kuning (1970)
Ini
adalah kasus getir dan pahit dari seorang gadis muda bernama Sumarijem
seorang gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari Godean
Yogyakarta yang (maaf) diperkosa oleh segerombolan anak pejabat dan
orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu.Kasus ini merebak menjadi
berita besar ketika pihak penegak hukum terkesan mengalami kesulitan
untuk membongkar kasusnya hingga tuntas. Pertama-tama Sum Kuning disuap
agar tidak melaporkan kasus ini kepada polisi. Belakangan oleh polisi
tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai dusta. Seorang pedagang bakso
keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku sebagai pelakunya. Tanggal
18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah
menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah
mobil oleh beberapa pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi
bius (Eter) hingga tak sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di
daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan diri. Kasus
ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa
para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang
diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase
menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit
Bentang). Dalam
bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan,
Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah
dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Dalam
pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang
berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau
menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi
mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.Karena melibatkan
anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani.
Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi
anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.Kasus Sum disidangkan di
Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup
untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama
Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo
menolak mentah-mentah. Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu
tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan,
Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan
keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.Dalam putusan hakim
dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi
obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo,
sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa
polisi. Hoegeng
terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum,
Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda
Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal
Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta
soal pemerkosaan Sum Kuning."Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar
menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas
Hoegeng.Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya
'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning
terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan
Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media
massa.Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan
kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan
kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai
luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah
politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara.
Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?? Dalam
kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa
Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede
alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras
melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar
memerkosa. Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias. Tanggal
2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak
menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini. Sum
sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia
kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih
dirawat. Tapi
siapakah pelaku pemerkosaan sebenarnya dari Sum Kuning masih menjadi
tanda tanya besar sampai saat ini sebab baik Sum Kuning tetap pada
pendiriannya bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat maupun 10
pemuda anak orang biasa yang diajukan ke pengadilan dan membantah
habis-habisan tuduhan yang diajukan kepada mereka dan dijadikan sebagai
kambing hitam untuk menutupi para pelaku sebenarnya. 2. Menghilangnya 13 Aktifis menjelang Reformasi
Menjelang
Reformasi di tahun 1998 ada sekitar 13 orang aktivis yang diculik paksa
oleh militer dan hingga kini keberadaan mereka masih menjadi misteri,
jika mereka sudah meninggal dimanakah mereka dikuburkan dan alasan apa
yang menyebabkan sehingga militer menculik ke-13 orang aktivis ini.
Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval
Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah,
Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser. Pasukan
Kopassus dari tim mawar dianggap bertanggung jawab atas peristiwa
menghilangnya ke-13 aktivis tersebut dimana ada 24 orang yang diculik
namun 9 orang berhasil bebas yakni Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmon J
Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius
Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati. Sementara
1 orang lagi yakni Leonardus Nugroho (Gilang) yang sempat dinyatakan
hilang lalu 3 hari kemudian ditemukan telah meninggal dunia di Magetan
dengan luka tembak dikepalanya. Karena
kasus ini sempat membuat heboh di tahun 1998 dan atas desakan berbagai
pihak didalam maupun luar negri pada tanggal 3 Agustus 1998 Panglima
ABRI saat itu, Jend Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira yang
diketuai oleh Jend TNI Soebagyo HS yang saat itu menjabat sebagai KSAD,
dan wakil ketua terdiri dari Let Jen TNI Fahrur Razi (Kasum ABRI), Let
Jen Yusuf Kartanegara (Irjen Dephankam) dan anggota yang terdiri dari :
Let Jen Soesilo Bambang Yudhoyono yang kini menjadi Presiden RI
(Kassospol ABRI), Let Jen Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Let Jen
Djamiri Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen
AKABRI). Pada
tanggal 24 Agustus 1998 Letnan Jendral Prabowo Subianto selaku Panglima
Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad) diberhentikan dari dinas
kemiliteran. Menindaklanjuti
keputusan dari Menteri Pertahana/Panglima ABRI Jendral Wiranto,
dilakukan penyelidikan oleh PUSPOM ABRI dan selanjutnya diketahui bahwa
tim mawar dari Kopassus diduga bertanggung jawab terhadap kasus
penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis 1998 tersebut. 11
anggota Kopassus diadili secara militer namun KONTRAS dalam siaran pers
nya menyebutkan :"Proses peradilan terhadap 11 anggota Kopassus
terdakwa penculikan itu tidak lebih hanya sebuah rekayasa hukum untuk
memutus pertanggung jawaban Letnan Jendral Prabowo Subianto yang
sebenarnya paling bertanggung jawab atas operasi ini. Hal tersebut jelas
bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan DKP yang membuktikan bahwa
Letjen Prabowo lah yang bertanggung jawab atas penculikan itu, karena
itulah akhirnya ia dipensiunkan. Jadi secara keseluruhan kami
berkesimpulan bahwa persidangan itu tidak lebih dari sebuah pertunjukan
dagelan yang tidak lucu. Oleh sebab itu KontraS bersama keluarga korban
tetap menuntut Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR serta Kolonel
Chairawan segera diseret ke pengadilan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab atas kasus penculikan ini”Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;
Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ; No Nama Terdakwa Vonis / Hukuman 1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat, 2 Kapten (Inf) F.S Multhazar 20 bulan / dipecat, 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan / dipecat, 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat, 5 Kapten (Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat, 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat, 7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat, 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat, 9 Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat, 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat, 11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat Namun proses pengadilan tersebut tetap saja tidak memberikan kepastian dimanakah mereka menahan para aktivis tersebut dan jika sudah meninggal dimanakah mereka menguburkan atau membuang mayat ke-13 aktivis yang hilang tersebut.
3. Penembak Misterius (Petrus) 1982-1985.
Petrus
atau juga dikenal sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang
sebagai sebuah operasi rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk
menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap
meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu. Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya. Kemungkinan
besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di
tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton
Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang
meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta
Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah
pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.Karena
permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang
istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun
sangat serius. Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam
Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang
berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam rapat yang
membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk
melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit
di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh
Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya. Para korban
Operasi Celurit pun mulai berjatuhan. Petrus
pada awalnya beraksi secara rahasia namun lambat laun aksi mereka
seperti sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di
kota-kota besar, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang
dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367
orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus
(Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang
yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban
Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di antaranya tewas karena
tembakan. Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi
tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung
dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai,
hutan-hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau
bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock
therapy yang disampaikan akan lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput
aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai Petrus yang
berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun
akhirnya berkomentar.ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di
seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan
misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap
Presiden Soeharto lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan
gelap yang terjadi mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit.
“Seiauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat
yang ditangkap” komentar Benny. Dan tak ada seorang pun wartawan yang
saat itu berani melaniutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal
sangat tegas dan garang itu. Kepala
Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada
enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati
secara misterius. Tapi pernyataan yang dilontarkan man-tan Wapres H.
Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan
misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh
pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum. “Jangan
mentangmentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari
ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum
sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil menekankan, “Setiap usaha
yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.” Tindakan
tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang menyulut
pro dan kontra. Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan kepada
target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya pendapat yang kontra
menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri
atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat beneran.
Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan
oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara
kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984.
Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara
mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah mejnakan korban jiwa
sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang diakhiri dan Indonesia
juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum. Menlu
Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu
terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat
terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri. Atas
pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot
sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Ia kembali
menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng.
“Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan
petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan
kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya. Namun persoalan penembakan itu
akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini
tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden
Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya
dimana ia mengatakan Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa
dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar
Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis dalam
bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto berujar : “Dengan
sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas.
Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan
itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi
yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka
mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu
untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti
bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan
mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua
kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian
redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”Namun
jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa
penembakan terhadap para preman karena melawan saat hendak ditangkap
bagaimana Moerdani menjelaskan para korban Penembakan Misterius yang
ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau yang dihanyutkan di
sungai? atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan
perintah? 4. Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje
Diera
tahun 1980an ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje
yang bernama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono/Dice Budiarsih, ia tewas
dibunuh dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam
menembak kemudian mayat nya dibuang disebuah kebun karet dibilangan
kalibata yang sekarang menjadi komplek perumahan DPR. Setelah kasus
tersebut marak di media massa, Polisi akhirnya menangkap seorang tua
renta yang nama aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal dengan
panggilan Pakde dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia
adalah seorang dukun. Yang entah dengan alasan dan motif apa yang tidak
jelas ia dianggap sebagai pembunuh Dietje. Bagi Polis Motif tidak begitu
penting karena Polisi mengungkapkan bahwa "katanya" mereka "Memiliki
bukti yang kuat". Pak
De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP
yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak
tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang.
Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan
terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang
meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan.
Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis
hakim. Akhirnya
Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup namun publik saat itu sudah
mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin hubungan asmara dengan menantu
dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus
seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik
informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi. Dan
bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk ‘meyakini’ bahwa
benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde. Dietje
disebutkan dipakai sebagai "Jasa" oleh seorang eks petinggi militer
yang terjun ke dunia usaha dan untuk memuluskan bisnisnya Dietje dipakai
oleh sang eks petinggi militer untuk menyenangkan menantu orang paling
berkuasa di Indonesia, Hasil dari jasa Dietje, sang ‘jenderal’
pengusaha mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara
modern. Tapi hubungan Dietje berlanjut jauh dengan sang menantu. Ketika
perselingkuhan itu ‘bocor’ ke keluarga besar, keluar perintah memberi
pelajaran kepada Dietje, hanya saja ‘kebablasan’ menjadi suatu
pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala
mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di
daerah Kalibata. Pak ‘De’ Siradjuddin yang dikenal sebagai guru
spiritualnya dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai
pelaku, diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara
bertahun-tahun lamanya, Hingga akhirnya Pak De mendapat grasi dari
Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup
menjadi 20 tahun di tahun 1999.Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat
meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan
bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pak De lebih sering mengurusi
ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah
berwarna kelabu. Kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: “Pak De tidak membunuh Ditje". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya,"
kata Pak De. Siapakah pelakunya? Pak De menyebut-nyebut sejumlah nama
yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini
keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil 5. Kasus Pembunuhan Udin
6. Kasus Marsinah
Marsinah
hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT
Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan
tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD
Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas
kerena penganiayaan berat. Marsinah
adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan
unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur
Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar
menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji
sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan
senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya
beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT.
Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut
dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa
tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp
2250. Siang
hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut
unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di
tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh
telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai
tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Pada
tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai
penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas
Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda
Jatim serta Den Intel Brawijaya.Delapan
petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi,
termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya
perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS,
Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap. Baru
18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan
Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat
kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara
resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil
penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian
kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga
hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun
mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan
bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas
murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan
kasus ini adalah "direkayasa". Kasus
ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal
sebagai kasus 1713. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri
dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia. 7. Kasus Menghilangnya Edy Tansil
Edy
Tansil adalah seorang pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan
Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama
20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang
merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs
dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada tanggal 4
Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap
membantu Edy Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy
Tansil seperti raib ditelan bumi. Sebuah
LSM pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil
tengah menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi
dari perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian
Provinsi Fujian China. Di
tahun 2007 Tempo interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor
(TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy
Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah
melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga
kini keberadaan Edy Tansil tetap masih menjadi misteri. Ada
beberapa koruptor yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga
kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti
Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S
Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih
banyak lainnya. 8. Kasus Munir
Munir
sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda dan
dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa
menjelang memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus
seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus
menawarkan kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir
menempati kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati
kursi Munir dikelas ekonomi. Sebelum
pesawat mengudara, flight attendant (Pramugari) Yetti Susmiarti dibantu
Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada para
penumpang dan Munir memilih Jus Jeruk. Pukul
22.05 WIB pesawat lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Flight
Attendant membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang, Munir
memilih mi goreng dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya,
setelah mengudara hampir 2 jam pesawat mendarat di bandara Changi
Singapura. Di
bandara Changi Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan
seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel
menggunakan bus dan perjalanan dari Singapura menuju Belanda seluruh
awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura. Dalam
perjalanan Munir meminta kepada flight attendant Tia Ambarwati segelas
teh hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan
dari teko ke gelas diatas troli dilengkapi gula sachet. Tiga
jam setelah mengudara Munir bolak balik ke toilet, saat berpapasan
dengan Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi
seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga
menuju Belanda, Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju
Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat
lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat
muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar
dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil
batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak
obat yang dimiliki pesawat.Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan
tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu
sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut
mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat
di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu
tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag.
Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit
garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke
toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam,
kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian
tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet.
Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh
lemas di toilet.Dua
jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir: mulutnya
mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru.
Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi
tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di
atas langit Negara Rumania. Setelah
dilakukan penyelidikan termasuk oleh pihak otoritas Belanda ditemukan
bahwa didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak
460mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya. Namun
terdapat keanehan setelah dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo
dimana kandungan arsenik yang ditemukan didalam lambung Munir sedikit
ganjil karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah
hancur/melarut. Ini
terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir
baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini
juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ
tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu
dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar
benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak
lain. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara
lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut
keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik
masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban
mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang. Apapun
itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut namun hingga kini tampaknya
kasus tersebut belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang telah
dijatuhi vonis oleh pengadilan namun Suciwati selaku istri Munir tetap
merasa tidak puas dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas kasus
kematian suaminya.Apakah
ini tindakan kontra intelijen ataupun sebuah operasi pembunuhan oleh
intelijen? tidak ada yang mengetahui kejadian sebenarnya kecuali mungkin
para pelaku utama pemberi perintah untuk membunuh sang aktivis. Namun
yang pasti didalam sebuah kasus pembunuhan terencana harus ada motif dan
tujuan dari melenyapkan seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI
begitu bodoh untuk membunuh seseorang yang secara aktif mengkritisi
berbagai persoalan HAM di indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa
pasti mata dan tuduhan internasional pasti akan mengarah kepada
pemerintah Indonesia, dan pihak militer serta badan intelijennya, atau
mungkin ada beberapa pihak yang telah gelap mata akibat sikap kritis
dari Munir yang membuat mereka mengambil keputusan untuk menghabisinya, sebuah misteri yang belum terungkap hingga kinihttp://menujuhijau.blogspot.com/2013/03/daftar-kasus-pembunuhan-paling.html#ixzz2eOfnB7vq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar